“SOLO, KOMPAS.com — Usaha kecil dan
menengah (UKM) perlu mendapat perlindungan khusus dalam menghadapi pasar bebas.
Perlindungan yang diharapkan adalah dalam bentuk, antara lain, penguatan
kapasitas sumber daya manusia, modal, pelatihan, promosi, dan iklim usaha yang
kondusif.
Hal ini
dikatakan Ketua Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk) Ngudi Lestari Kota Solo
Sujanti, Rabu (28/11/2012). "Adanya perjanjian perdagangan
bebas sebenarnya membunuh usaha dan industri dalam negeri, terutama UKM, karena
kami kalah modal, SDM, dan kemasan. Namun, sudah tidak bisa dicegah lagi
sehingga kami yang harus bersiap-siap," tutur Sujanti.
Dosen
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, AM Susilo, mengatakan,
UKM punya peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor ini menyumbang
56,7 persen pendapatan domestik bruto dan menyerap 99,6 persen tenaga kerja. Di
Jawa Tengah, ada 680 pengusaha UKM dengan hanya 32 persen yang memperoleh
Standar Nasional Indonesia (SNI) karena kendala biaya, yakni Rp 100 juta per
izin.
Kepala
Bidang Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Dinas Koperasi dan
UMKM Provinsi Jawa Tengah Eko Hari Putranto mengungkapkan, total ada 3,68 juta
UMKM nonpertanian di Jateng dengan penyerapan tenaga kerja 7,4 juta orang. Dari
jumlah itu, tidak sampai 50 pengusaha yang sudah ekspor dan hanya 100-an item
produk yang sudah menyentuh pasar ekspor.”
Artikel di
atas merupakan sepenggal kisah dampak pasar bebas terhadap perkembangan ekonomi
usaha mikro di Indonesia. Pasar bebas atau yang lebih dikenal dengan
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang
mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. penjualan
produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan
sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah)
dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang
berada di negara yang berbeda.
Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara,
biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor.
Secara teori, semuha hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan
bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang
didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan
hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas.
Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan
perusahaan-perusahaan besar.
Perdagangan
bebas artinya tidak adanya campur tangan dari pemerintah yang menghambat
kegiatan perdagangan baik yang dilakukan oleh antar individu maupun antar
perusahaan-perusahaan yang ada di dalam negara-negara. Dengan adanya sistem
perdagangan bebas ini maka perdagangan antar negara tidak lagi disulitkan oleh
urusan birokrasi. Dibentuknya perdagangan bebas ialah untuk meningkatkan
kerjasama di bidang ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan negara. Dengan
adanya perdagangan bebas diharapkan negara-negara dapat dengan mudah melakukan
kegiatan ekonominya. Ide membentuk perdagangan bebas ini ialah karena seringnya
perdagangan internasional terhambat oleh masalah pajak, berbagai biaya
tambahan, dan masih banyak hambatan-hambatan lainnya.
Manfaat dari
perdagangan bebas yang dapat dilihat secara langsung ialah keberagaman
barang-barang yang tersedia. Dengan adanya barang-barang yang beragam
diharapkan rakyat akan sejahtera karena akan mempunyai banyak pilihan
produk-produk terbaik yang mereka butuhkan. Sebenaranya sah-sah saja perdagangan bebas
diterapkan di negara kawasan ASEAN, Indonesia misalnya. Namun, dalam penerapan
zona perdagangan bebas perlu diatur pula beberapa ketentuan/etika yang mungkin
dapat diterapkan guna memperlancar pelaksanaan perdagangan bebas, sehingga
antara perusahaan mikro dan perusahaan besar tetap terjalin hubungan yang
selaras dalam melakukan bisnis dan perdagangan. Etika pasar bebas tersebut
antara lain:
1.
Perusahaan besar harus mampu memahami kemampuan industri dalam negeri,
sehingga diharapkan terdapat transfer ilmu dan teknologi dalam mengembangkan
produk yang homogen/sejenis.
2.
Perusahaan kecil harus siap bersaing dan menerima arus barang masuk dari
luar negeri dengan meningkatkan kemampuan manajerial dan kualitas produk.
3.
Pemerintah wajib turut serta dalam mengawasi arus barang dan kemampuan
perusahaan kecil. Ketika barang terlalu banyak masuk ke dalam negeri, perlu
dilakukan kontrol melalui pembatasan kuota barang, sedangkan untuk perusahaan
kecil perlu dilakukan pembinaan sehingga mampu meningkatkan kemampuan
manajerialnya. Pelaku bisnis besar harus mampu mengendalikan
dirinya untuk tidak menerima apapun guna memperlancar usahanya dengan cara
kotor (sogokan / korupsi), karena biasanya perusahaan besar lebih mudah
memperoleh suatu ijin karena memiliki dana untuk melakukan suap.